GWEN, JAYSON, SUKARDI DAN ZAHARI

img_9366

Aku sedang menaiki tangga batu saat semua orang memalingkan wajah. Dari sekian banyak pekerja yang kami temui pagi itu, sosok wanita bule menggendong anak kecil adalah pemandangan yang tak biasa. Ia menyusuri jalan setapak di pinggir pantai. Air biru dengan kebeningan bak agar-agar memantulkan cahaya Sang Surya yang semakin lama semakin gagah. Cuaca hari itu memang fantastis, mendukung segala keindahan alam Pulau Bawah yang tengah kami injak.

Wanita itu mendekat. Senyumnya makin tersungging saat mendekati segerombol orang dengan muka penuh tanda tanya. Bala, pria keturunan India yang menjabat sebagai salah satu pengelola Pulau Bawah kemudian memperkenalkannya kepada kami.

“Teman-teman, ini Gwen. Dia bersama suaminya, Jonathan alias Pak Jo adalah ahli tanaman yang meneliti seluruh vegetasi di pulau ini.”

Senyum wanita itu berubah menjadi cengiran malu-malu. Sejak pertama muncul di hadapan kami, Gwen tidak berhenti mengelus sosok mungil yang terlelap di pelukannya.

“Dia sedang tidur. Usianya delapan bulan,” tuturnya dalam bahasa Indonesia yang fasih bercampur logat Perancis yang kental.

Gwen.

November 2016. Kami berdelapan adalah jurnalis dari beberapa media massa yang diundang oleh pengelola Pulau Bawah, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Riau, untuk ‘mengintip’ eco resort yang diprediksi akan menjadi yang paling unggul di Indonesia. Pembangunan dimulai sekitar lima tahun lalu.

Para pengelola Pulau Bawah tak segan-segan mendatangkan ahli ekologi dari belahan lain bumi agar ekosistem Pulau Bawah terjaga. Juga adalah tugas kami berdelapan untuk memastikan eksploitasi pulau berlangsung seminim mungkin.

Hari beranjak siang, matahari bersinar semakin ganas. Bala mengajak kami mengitari beach bar, restoran, infinity pool tempat Gwen menampakkan diri, perpustakaan, ruang spa, dan gem dari semuanya: Tent Villa dan Water Villa yang berderet di bibir laguna.

“Ayo, ayo. Vila yang ini sudah hampir jadi,” kata Bala sambil mengajak kami masuk ke Water Villa paling ujung, dekat formasi batu granit yang serupa dengan Belitung.

Suara bayi terdengar sayup-sayup. Awalnya kupikir hanya fatamorgana. Namun begitu tiba di teras vila, tampak deretan popok yang tengah dijemur. Gwen keluar kamar. Disusul oleh suaminya, Pak Jo, sambil menggendong si mungil yang baru kelihatan wajahnya.

img_9368

Melihat daging yang menggumpal di pipi dan paha si mungil itu, kami sontak menghambur ke arah Pak Jo.

“Azel. Dia dipanggil Azel,” tutur Gwen.

“Azel seperti hazel? Atau hazelnut?” tanya salah seorang dari kami.

“Ya, ya, seperti hazelnut. Kamu kacanggggg…” kata Gwen sambil membanjiri kepala buah hatinya dengan ciuman gemas.

Jayson.

Kami sedang mencermati tiga buah genset di sudut Kampung Pekerja saat seorang anak muda mendekat. Dia tampak seperti anak kekinian: berkulit cokelat, berambut ikal seleher, berkaus oblong dan bercelana pendek, bersandal jepit, bertopi snapback, dan bertas slempang. Seperti lelaki muda asal-asalan. Pria itu tersenyum lebar ketika disapa Bala.

“Teman-teman, kenalkan, ini Jayson Mata. Dia arsitek. Dia yang menggambar semua konsep. Dia juga tinggal di sini untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik,” kata Bala.

Jayson adalah seorang Filipina. Dia bercakap sedikit dengan Bala sebelum kemudian menghilang di kerumunan Kampung Staf. Sesuai namanya, Kampung Staf adalah bagian belakang resor yang dijadikan pemukiman untuk para pekerja Pulau Bawah. Bala menjelaskan, ada 150 bed yang dibuat semacam dormitori. Satu kamar bisa terdiri dari empat, dua, hingga satu bed tergantung posisi pekerja tersebut. Tak lupa sebuah musala besar, kantin karyawan, klinik, serta berbagai fasilitas pendukung.

Tak sampai lima detik kupalingkan muka, Jayson sudah tak tampak batang hidungnya.

Sukardi. 

“Dua puluh empat hari lagiiiiii…”

Kalimat itu diucapkan dengan nada lantunan, hampir seperti nyanyian.

“Dua puluh empaaaaat….”

Kali ini nadanya agak men-dangdut. Seorang pria berkaus singlet, bertopi hitam, bercelana pendek menggoyang-goyangkan kepala sambil menikmati lantunan yang dibikinnya sendiri. Beberapa pria di sekelilingnya tertawa. “Sudah hampir stres dia mbak,” kata salah satunya, sambil mengetawai nasib temannya. Mungkin mengetawai nasibnya sendiri juga.

Tepat tiga bulan enam hari Sukardi menjadi tukang batu di Pulau Bawah. Mayoritas tukang batu yang dipekerjakan di sana berasal dari Jawa Timur. Sukardi sendiri, yang sudah beristri dan beranak dua, berasal dari Pasuruan. Logat Jawa-nya sangat kental. Ketika Sukardi bilang “mbak”, huruf K di belakang terkena mantra cengkok sehingga terdengar seperti tersedak.

Empat bulan adalah waktu yang sangat, sangat, sangat panjang bagi pria yang sudah berkeluarga. Apalagi anak kedua Sukardi telah menginjak usia dua tahun. Seminggu sekali Sukardi melakukan panggilan telfon dengan istri dan anak-anaknya di kampung. Tiap Sabtu malam itu, Sukardi suka menangis. Ia kadang malu menjadi pria paling sentimental dibanding seratusan teman kerjanya di Pulau Bawah.

“Cuma suara, mbak… Cuma suara anak yang bikin saya mbrebes mili. Apalagi kalau dia tiba-tiba nangis pas dengar suara saya. Saya nggak bisa lihat, nggak bisa gendong.”

Baru enam bulan lalu menara telekomunikasi terpasang di Pulau Bawah. Itu pun tanpa sinyal internet sama sekali. Jangan harap bisa kerja sambil posting-posting foto di Facebook dan video call bersama pacar dan keluarga. Telfon dan SMS, beserta konser dangdut dadakan di malam Tahun Baru adalah tiga obat jitu kebosanan para pekerja di pulau surgawi itu.

Zahari.

Kapal yang mengantar kami ke Pulau Bawah bukanlah kapal biasa. KEMANA, begitu nama kapalnya, adalah sebuah yacht mewah berkamar empat lengkap dengan tiga kamar mandi, satu ruang makan, satu lounge, serta balkon atas dan balkon belakang untuk cari angin saat asam perut mulai naik. Dua jagoan di balik berlayarnya KEMANA adalah Zahari (43) dan Agil (24), dua uda Padang yang mengadu nasib dalam dunia perkapalan.

Sebagai kapten, Zahari sigap menjalankan berbagai tugas. Dari kewajiban mengemudikan kapal, mengelap meja, mencarikan snorkel dan fin untuk dipakai snorkeling, sampai turun sendiri ke laut untuk menemaniku berenang. Zahari adalah tipe pria berperawakan sangar dengan kulit cokelat gelap, namun sigap mengembalikan teripang ke lautan begitu ginuk-ginuk tersebut mulai kehabisan nafas.

“Biar pada tau aja teripang bentuknya kayak apa. Kasihan dia,” kata Zahari sambil mengelus-ngelus kemudian mencemplungkan hewan itu kembali ke habitatnya.

Tepat sehari sebelumnya, istri Zahari melahirkan anak kedua. Pria itu senyum lebar saat bercerita bahwa anak ini adalah pelengkap keluarga kecilnya. Anak pertamanya, yang adalah perempuan, baru menginjak usia empat tahun.

“Dia pasti sayang betul dengan adiknya,” kata Zahari.

Zahari tampk bahagia sekali. Anaknya lahir selamat dan sehat meski sang istri tak mendapat dukungan fisik dan mental dari sang suaminya. Tanpa bisa melihat fisik anaknyapun, Zahari sudah berseri-seri.

Aku bertanya, kapan dia bisa bertemu dengan sang buah hati. Bala yang saat itu berada di ruangan yang sama menjawab, “Satu pelayaran lagi. Satu setengah bulan dan kamu boleh off,” tuturnya kepada Zahari.

Agil.

img_9367

Meski punya banyak ruangan, tak ada yang bisa dilakukan di kapal itu selain mengobrol dan bersantai. Agil sedang membersihkan sayuran untuk ditumis sebagai lauk makan malam. Aku membantunya mengiris buncis.

Lajang asal Padang itu rupanya diam-diam menghanyutkan. Dia hanya bicara bila diperlukan. Namun berawal dari buncis, pembicaraan pun mengalir. Sebelum ‘terjun’ ke kapal, Agil pernah bekerja di rumah makan Padang. Sebelum itu, saat usianya masih belasan, Agil menjadi pemandu para peselancar di Kepulauan Mentawai.

Matanya selalu bersinar saat bercerita tentang Mentawai. Tampaknya dia rindu menari di atas papan selancar. Agil bercerita, ombak di Mentawai bisa bikin orang naik pitam.

“Sampai pukul-pukulan mbak. Jadi ada beberapa ombak yang pendek, tapi dahsyatnyaaaaa (kata Agil sambil menggeleng-gelengkan kepala). Itu bule-bule berantem di air untuk dapetin ombak. Berantemnya sering sampai ke darat.”

Masih di Mentawai, lanjut Agil, terdapat ombak dengan tinggi empat hingga lima meter.

“Itu orang-orang selancar pakai helm, mbak! Kalau digulung (ombak) habislah sudah!”

Aku tertawa kencang sekali. Selain membayangkan orang berselancar pakai helm, aku teringat pada tsunami terakhir di Jepang beberapa waktu lalu. Kabarnya santer di seluruh dunia. Negeri Sakura itu siaga. Tahu-tahunya tsunami yang datang setinggi tiga meter. Hanya tiga meter. Itu pun langsung pecah oleh tanggul yang membentengi pulau.

Gwen.

Lauk makan malam sudah hampir siap saat Gwen, Pak Jo, dan si mungil Azel tiba di kapal. Jayson si anak muda kekinian juga diundang Bala untuk makan malam di kapal. Kami makan rendang yang dipanaskan dan sayur buncis yang potongannya tak tentu arah hasil karyaku sejam sebelumnya.

Saat ditilik-tilik, Azel ini lucu sekali. Dia tak pernah menangis meski sedang grumpy. Matanya benar-benar berwarna hazel, cokelat dan bening. Saat kutanya di mana Azel lahir, Gwen menjawab Thailand.

“Tapi made in Indonesia. Hahaha!”

Gwen lanjut bercerita, waktu itu ia dan Pak Jo tinggal bersama suku primitif di barat daya Sumba satu tahun lamanya.

“Mereka itu headhunter. Sangat primitif. Bahkan banyak orang Indonesia tidak tahu keberadaan mereka,” kisahnya.

Kodi, begitu nama suku di barat daya Sumba tersebut. Tujuan pasangan Perancis ini sangat sederhana: menanam beberapa tanaman agar masyarakat setempat tidak kekurangan serat dan sayuran. Sambil memangku Azel yang duduknya miring kesana kemari, Gwen lanjut bercerita.

“Butuh sekitar dua bulan untuk akhirnya diterima oleh komunitas mereka. Kami tinggal di sana selama satu tahun. Sebelumnya mereka sempat mengancam akan memotong leher kami. A little bit scary. Wait, very scary because it’s true.

Lalu, usai dua bulan perjuangan dan satu tahun tinggal di tengah Suku Kodi, apakah tujuan Gwen dan Pak Jo membuahkan hasil?

Gwen mengarahkan jempolnya ke bawah. Tidak sama sekali. Rupanya sangat sulit menerapkan pola bercocok tanam pada suku primitif yang memenggal kepala orang sebagai hobi.

Bulan ke enam tinggal di suku pedalaman Sumba, Gwen mengandung. Situasi dan kondisi sangat tidak mendukung untuk kehamilan Gwen. Saat kandungannya beranjak enam bulan, Pak Jo membawanya pergi ke Phuket.

“Sangat sulit mencari rumah sakit internasional di Asia Tenggara. Kami mendapatkannya di Thailand. Satu di Bangkok, satu lagi di Phuket. Kami pilih Phuket, kebetulan ada teman di sana dan dia punya garden jadi kami bisa bercocok tanam,” papar Gwen, yang bertemu Jonathan pada sebuah party di Paris, 20 tahun lalu, saat calon suaminya itu masih berprofesi sebagai disk jockey.

Jayson.

Kekenyangan, aku melipir ke bagian pinggir kapal. Jayson sedang menenggak bir di sisi kapal yang sama. Dia sedikit banyak mirip Agil, tak banyak bicara. Namun sekalinya diajak mengobrol, keluarlah semua celotehan. Dia juga sering sekali tertawa karena hal-hal yang tidak lucu.

Jika Sukardi meninggalkan keluarganya di Pasuruan selama empat bulan, Jason putus dengan kekasihnya karena tinggal selama lebih dari tiga tahun di Pulau Bawah. Sedikit mengingatkan, menara telekomunikasi baru hadir enam bulan terakhir. Itu berarti tiga tahun tanpa sinyal sama sekali. Jauh dari keluarga, kekasih, juga dunia maya. Selama tiga tahun.

Tiga.

Tahun.

“Enam bulan pertama benar-benar menyiksa. Saya pulang sekali dalam tiga bulan, atau terkadang empat bulan. Tapi begitu pulang, semua orang membicarakan apa yang saya tidak tahu,” kata pria berambut ikal itu.

Kulitnya kini cokelat mengkilap akibat tergerus sinar matahari. Perutnya sedikit membuncit karena jarang makan sayuran. Terkadang para pekerja lainnya berbuat lucu dan hiburan sekecil apa pun bisa jadi sangat menyenangkan. Konser dangdut dadakan kini jadi hiburan favorit Jayson, di mana ia mencontek gaya joget rekan kerjanya yang beragam. Saking jarangnya joget, mereka bisa tahan hingga pukul dua dini hari padahal habis menguras fisik 10 jam lamanya.

Kini dia lebih menghargai waktu. Menghargai keberadaan orang lain. Menghargai sebungkus ciki dan cokelat. Bahkan kini ia menangis jika melihat makanan yang dibuang percuma.

Hingga soft lauching Pulau Bawah pada April 2017 mendatang, Jayson dan kawan-kawan harus bertahan. Pulau yang tengah ‘disulap’ menjadi eco resort berbintang tujuh itu akan menggemparkan dunia pariwisata Tanah Air. Dengan kisaran harga 2.500 dollar AS per malam (dengan minimum stay 4 hari 3 malam), tamu akan dijemput naik seaplane dan mendarat langsung di dermaga Pulau Bawah. Para pekerja yang saat ini berasal dari berbagai wilayah Nusantara akan berganti dengan mayoritas warga Kepulauan Anambas.

Jika sewaktu-waktu Anda mendengar soal Pulau Bawah, kemudian mengagumi keindahannya meski hanya berselancar dunia maya, ingatlah orang-orang ini. Untuk Gwen, Jayson, Sukardi, Zahari, Agil, dan ratusan orang lainnya yang membanting tulang di Pulau Bawah, aku memberi hormat. Betapa sebuah tempat bisa mengubah seseorang.

img_9369

Special thanks

Gwennelle Marchand & Jonathan Semo,

Jayson Mata,

Aji Sularso – Direktur Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat PT Pulau Bawah,

Bala Navaratnam – Direktur Komunikasi Penjualan dan Pemasaran PT Pulau Bawah,

Zahari & Agil, dan

Semua jurnalis yang ikut dalam media trip PT Pulau Bawah.

 

Beberapa tulisan tentang Pulau Bawah akan dimuat di Kompas.com, Rabu (30/11/2016).

4 comments

  1. Kak Castli. Aku suka sekali tulisanmu ini. Menyentuh dari beragam sisi :”)

    Ngomong2 tentang Kodi, yg dibilang Gwen itu benar adanya. Aku sampai gak diperbolehkan naik motor sendirian melintas sana. Harus sama pemuda lokal agar aman. Haahahhaa xD

  2. Sasstriii, pas januari kemarin aku ke Sumba, tuan rumah yang saya tempatin pernah cerita ada orang yang ngumpulin biji-bijian di Sumba, setiap hari pergi pulang bawa bjiji-bijian, di beber di semua sudut rumah. Si Tuan rumah berkali-kali menyebut nama Pak Jo. Seperti sebuah legenda, karena mereka nggak tau lagi dia dimana, dan ternyata sepertinya km ketemu sama living legend nya hahaha beruntung sekali.

Leave a comment