Beruntunglah Kita yang Jauh dari Depresi

Depresi pernah hanya menjadi sebuah kata, familiar di telinga, namun asing dalam dunia nyata. Tak ada sejarah depresi dalam lingkaran teman dan keluarga saya — stress adalah level maksimal.

Terlebih seseorang bisa dicap depresi jika psikiater sudah ketok palu. Bahwasanya orang tersebut sudah berada dalam tingkat tertinggi kewarasan. Pikiran yang awalnya lurus perlahan bergelombang, seperti petikan senar gitar.

Mungkin, kondisi saya waktu kecil sedikit banyak mencerminkan depresi. Sayangnya tidak ada kata psikiater dalam kamus hidup saya dulu. Namun dengan kondisi broken home, Ibu lebih dari 1.000 km jauhnya dan Ayah bolak-balik ke luar kota tiap minggu, tak ada yang bisa saya lakukan selain tidur tengkurap di kolong kasur beralaskan tegel dingin. Tidak mandi, tidak makan, dari pagi sampai petang. Begitu terus selama setahun, mungkin lebih. Apakah itu depresi?

Hingga akhirnya kata depresi menghampiri lagi, kali ini lewat unggahan Facebook seseorang yang men-tag teman perjalanan saya dulu.

“Rest in peace, *nama disamarkan*. Died of depression.”

Pikiran saya melayang ke Banaue, Filipina, empat tahun lalu. Di tengah kesakitan karena kram kaki kanan, seorang Mindanao (daerah paling selatan Filipina) berlari menghampiri. Dia membopong saya naik ke atas bukit, menembus kabut tebal yang membuat suhu petang itu sedikit saja di atas titik beku.

“Sebentar lagi gelap,” katanya cepat.

Saya yang waktu itu masih (relatif) muda dan naif tidak memikirkan risiko apa-apa saat trekking ke Banaue Rice Terraces, terasering tertua di dunia berusia 2.000 tahun. Trek menuju terasering ini memang sulit, bahkan untuk saya yang afdhol mendaki gunung-gunung tertinggi di Jawa.

Hari sudah gelap saat kami tiba di basecamp utama. Petugas mengatakan saya adalah orang terakhir yang akhirnya tiba waktu itu. Jika tidak, ancamnya, mereka terpaksa menyisir area seluas lebih dari 200.000 hektar.

Tak henti-hentinya saya berterima kasih kepada seorang Mindanao yang sangat ringan tangan waktu itu. Masih dengan nafas tersengal-sengal, dia hanya membalas ucapan saya dengan senyum dan gerakan tangan yang seakan berbunyi “never mind“.

Randy’s Brookside Inn,

Begitu nama homestay saya waktu itu. Sang pemilik, Randy, adalah seorang bapak dari tiga anak yang tinggal seorang diri di rumah sederhana tersebut. Ketiga anaknya melanglangbuana, kuliah dan bekerja, pun hanya pulang ke rumah satu kali setahun.

Para tamulah yang kemudian menjadi “anak” dadakan Randy sepanjang waktu. Tak henti-hentinya dia bertanya “Are you okay?” setibanya saya di rumahnya. Randy lalu membuatkan secangkir teh manis hangat kemudian mempersilahkan saya mandi.

Namun rupanya saya bukanlah satu-satunya orang yang berniat mandi malam itu. Wajah familiar muncul dari atas tangga, handuk di tangan kanan dan sikat gigi di tangan kirinya.

Air muka khas Mindanao yang sangat mirip Melayu itu langsung berubah kaget. Senyumnya kembali tersungging.

You!” katanya.

Tiap malam adalah malam yang panjang di rumah Randy. Dibanding tidur di kamar, para tamu kerap memilih kruntelan dalam selimut di ruang tengah sambil menonton siaran televisi. Randy menyediakan makanan ringan dan minuman hangat sepanjang malam – ia sendiri lebih memilih terjaga sampai pukul tiga dini hari untuk memastikan tamunya nyaman.

Malam itu saya, Randy, sang Mindanao, dan sepasang turis Rusia mengobrol santai di ruang tengah. Ruangan masih didominasi tawa hingga akhirnya, setengah terlelap, seseorang memecah keheningan.

“My wife has passed away. My daughter also passed away. It was a rainy day and our car slipped, that’s all I remember.”

Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah saya dengar keluar dari mulutnya. Panjang dan menyakitkan.

Sorry to hear that,” ujar kami hampir berbarengan.

Are you okay?” tanya salah satu turis Rusia.

Dia tersenyum, dan kembali memeragakan gestur tangan yang mengisyaratkan “never mind“.

Empat tahun berlalu.

Ia tak pernah menguggah apa pun di laman Facebook-nya. Hanya beberapa tag dari teman atau keluarga. Sejak itu, September 2014, ia mengingatkan saya pentingnya menghargai dan menyayangi orang lain. Tak ada yang tahu kapan umur kita akan berakhir.

Died of depression. Empat tahun berada dalam bayang-bayang istri dan anak yang telah tiada – dan entah hal apa lagi yang membuntutinya. Entah bagaimana ia meninggal dunia. Mungkin ia sudah tidak tahan. Mungkin ia pernah berusaha bangkit, namun gagal. Dan seribu kemungkinan lain dalam hidupnya.

Beruntunglah orang-orang yang jauh, atau berhasil bangkit dari sebuah lubang hitam bernama depresi. Beruntunglah jika kita masih bisa melihat dunia luar — tanpa memikirkan kemungkinan bunuh diri.

Advertisement

GWEN, JAYSON, SUKARDI DAN ZAHARI

img_9366

Aku sedang menaiki tangga batu saat semua orang memalingkan wajah. Dari sekian banyak pekerja yang kami temui pagi itu, sosok wanita bule menggendong anak kecil adalah pemandangan yang tak biasa. Ia menyusuri jalan setapak di pinggir pantai. Air biru dengan kebeningan bak agar-agar memantulkan cahaya Sang Surya yang semakin lama semakin gagah. Cuaca hari itu memang fantastis, mendukung segala keindahan alam Pulau Bawah yang tengah kami injak.

Wanita itu mendekat. Senyumnya makin tersungging saat mendekati segerombol orang dengan muka penuh tanda tanya. Bala, pria keturunan India yang menjabat sebagai salah satu pengelola Pulau Bawah kemudian memperkenalkannya kepada kami.

“Teman-teman, ini Gwen. Dia bersama suaminya, Jonathan alias Pak Jo adalah ahli tanaman yang meneliti seluruh vegetasi di pulau ini.”

Senyum wanita itu berubah menjadi cengiran malu-malu. Sejak pertama muncul di hadapan kami, Gwen tidak berhenti mengelus sosok mungil yang terlelap di pelukannya.

“Dia sedang tidur. Usianya delapan bulan,” tuturnya dalam bahasa Indonesia yang fasih bercampur logat Perancis yang kental.

Gwen.

November 2016. Kami berdelapan adalah jurnalis dari beberapa media massa yang diundang oleh pengelola Pulau Bawah, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Riau, untuk ‘mengintip’ eco resort yang diprediksi akan menjadi yang paling unggul di Indonesia. Pembangunan dimulai sekitar lima tahun lalu.

Para pengelola Pulau Bawah tak segan-segan mendatangkan ahli ekologi dari belahan lain bumi agar ekosistem Pulau Bawah terjaga. Juga adalah tugas kami berdelapan untuk memastikan eksploitasi pulau berlangsung seminim mungkin.

Hari beranjak siang, matahari bersinar semakin ganas. Bala mengajak kami mengitari beach bar, restoran, infinity pool tempat Gwen menampakkan diri, perpustakaan, ruang spa, dan gem dari semuanya: Tent Villa dan Water Villa yang berderet di bibir laguna.

“Ayo, ayo. Vila yang ini sudah hampir jadi,” kata Bala sambil mengajak kami masuk ke Water Villa paling ujung, dekat formasi batu granit yang serupa dengan Belitung.

Suara bayi terdengar sayup-sayup. Awalnya kupikir hanya fatamorgana. Namun begitu tiba di teras vila, tampak deretan popok yang tengah dijemur. Gwen keluar kamar. Disusul oleh suaminya, Pak Jo, sambil menggendong si mungil yang baru kelihatan wajahnya.

img_9368

Melihat daging yang menggumpal di pipi dan paha si mungil itu, kami sontak menghambur ke arah Pak Jo.

“Azel. Dia dipanggil Azel,” tutur Gwen.

“Azel seperti hazel? Atau hazelnut?” tanya salah seorang dari kami.

“Ya, ya, seperti hazelnut. Kamu kacanggggg…” kata Gwen sambil membanjiri kepala buah hatinya dengan ciuman gemas.

Jayson.

Kami sedang mencermati tiga buah genset di sudut Kampung Pekerja saat seorang anak muda mendekat. Dia tampak seperti anak kekinian: berkulit cokelat, berambut ikal seleher, berkaus oblong dan bercelana pendek, bersandal jepit, bertopi snapback, dan bertas slempang. Seperti lelaki muda asal-asalan. Pria itu tersenyum lebar ketika disapa Bala.

“Teman-teman, kenalkan, ini Jayson Mata. Dia arsitek. Dia yang menggambar semua konsep. Dia juga tinggal di sini untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik,” kata Bala.

Jayson adalah seorang Filipina. Dia bercakap sedikit dengan Bala sebelum kemudian menghilang di kerumunan Kampung Staf. Sesuai namanya, Kampung Staf adalah bagian belakang resor yang dijadikan pemukiman untuk para pekerja Pulau Bawah. Bala menjelaskan, ada 150 bed yang dibuat semacam dormitori. Satu kamar bisa terdiri dari empat, dua, hingga satu bed tergantung posisi pekerja tersebut. Tak lupa sebuah musala besar, kantin karyawan, klinik, serta berbagai fasilitas pendukung.

Tak sampai lima detik kupalingkan muka, Jayson sudah tak tampak batang hidungnya.

Sukardi. 

“Dua puluh empat hari lagiiiiii…”

Kalimat itu diucapkan dengan nada lantunan, hampir seperti nyanyian.

“Dua puluh empaaaaat….”

Kali ini nadanya agak men-dangdut. Seorang pria berkaus singlet, bertopi hitam, bercelana pendek menggoyang-goyangkan kepala sambil menikmati lantunan yang dibikinnya sendiri. Beberapa pria di sekelilingnya tertawa. “Sudah hampir stres dia mbak,” kata salah satunya, sambil mengetawai nasib temannya. Mungkin mengetawai nasibnya sendiri juga.

Tepat tiga bulan enam hari Sukardi menjadi tukang batu di Pulau Bawah. Mayoritas tukang batu yang dipekerjakan di sana berasal dari Jawa Timur. Sukardi sendiri, yang sudah beristri dan beranak dua, berasal dari Pasuruan. Logat Jawa-nya sangat kental. Ketika Sukardi bilang “mbak”, huruf K di belakang terkena mantra cengkok sehingga terdengar seperti tersedak.

Empat bulan adalah waktu yang sangat, sangat, sangat panjang bagi pria yang sudah berkeluarga. Apalagi anak kedua Sukardi telah menginjak usia dua tahun. Seminggu sekali Sukardi melakukan panggilan telfon dengan istri dan anak-anaknya di kampung. Tiap Sabtu malam itu, Sukardi suka menangis. Ia kadang malu menjadi pria paling sentimental dibanding seratusan teman kerjanya di Pulau Bawah.

“Cuma suara, mbak… Cuma suara anak yang bikin saya mbrebes mili. Apalagi kalau dia tiba-tiba nangis pas dengar suara saya. Saya nggak bisa lihat, nggak bisa gendong.”

Baru enam bulan lalu menara telekomunikasi terpasang di Pulau Bawah. Itu pun tanpa sinyal internet sama sekali. Jangan harap bisa kerja sambil posting-posting foto di Facebook dan video call bersama pacar dan keluarga. Telfon dan SMS, beserta konser dangdut dadakan di malam Tahun Baru adalah tiga obat jitu kebosanan para pekerja di pulau surgawi itu.

Zahari.

Kapal yang mengantar kami ke Pulau Bawah bukanlah kapal biasa. KEMANA, begitu nama kapalnya, adalah sebuah yacht mewah berkamar empat lengkap dengan tiga kamar mandi, satu ruang makan, satu lounge, serta balkon atas dan balkon belakang untuk cari angin saat asam perut mulai naik. Dua jagoan di balik berlayarnya KEMANA adalah Zahari (43) dan Agil (24), dua uda Padang yang mengadu nasib dalam dunia perkapalan.

Sebagai kapten, Zahari sigap menjalankan berbagai tugas. Dari kewajiban mengemudikan kapal, mengelap meja, mencarikan snorkel dan fin untuk dipakai snorkeling, sampai turun sendiri ke laut untuk menemaniku berenang. Zahari adalah tipe pria berperawakan sangar dengan kulit cokelat gelap, namun sigap mengembalikan teripang ke lautan begitu ginuk-ginuk tersebut mulai kehabisan nafas.

“Biar pada tau aja teripang bentuknya kayak apa. Kasihan dia,” kata Zahari sambil mengelus-ngelus kemudian mencemplungkan hewan itu kembali ke habitatnya.

Tepat sehari sebelumnya, istri Zahari melahirkan anak kedua. Pria itu senyum lebar saat bercerita bahwa anak ini adalah pelengkap keluarga kecilnya. Anak pertamanya, yang adalah perempuan, baru menginjak usia empat tahun.

“Dia pasti sayang betul dengan adiknya,” kata Zahari.

Zahari tampk bahagia sekali. Anaknya lahir selamat dan sehat meski sang istri tak mendapat dukungan fisik dan mental dari sang suaminya. Tanpa bisa melihat fisik anaknyapun, Zahari sudah berseri-seri.

Aku bertanya, kapan dia bisa bertemu dengan sang buah hati. Bala yang saat itu berada di ruangan yang sama menjawab, “Satu pelayaran lagi. Satu setengah bulan dan kamu boleh off,” tuturnya kepada Zahari.

Agil.

img_9367

Meski punya banyak ruangan, tak ada yang bisa dilakukan di kapal itu selain mengobrol dan bersantai. Agil sedang membersihkan sayuran untuk ditumis sebagai lauk makan malam. Aku membantunya mengiris buncis.

Lajang asal Padang itu rupanya diam-diam menghanyutkan. Dia hanya bicara bila diperlukan. Namun berawal dari buncis, pembicaraan pun mengalir. Sebelum ‘terjun’ ke kapal, Agil pernah bekerja di rumah makan Padang. Sebelum itu, saat usianya masih belasan, Agil menjadi pemandu para peselancar di Kepulauan Mentawai.

Matanya selalu bersinar saat bercerita tentang Mentawai. Tampaknya dia rindu menari di atas papan selancar. Agil bercerita, ombak di Mentawai bisa bikin orang naik pitam.

“Sampai pukul-pukulan mbak. Jadi ada beberapa ombak yang pendek, tapi dahsyatnyaaaaa (kata Agil sambil menggeleng-gelengkan kepala). Itu bule-bule berantem di air untuk dapetin ombak. Berantemnya sering sampai ke darat.”

Masih di Mentawai, lanjut Agil, terdapat ombak dengan tinggi empat hingga lima meter.

“Itu orang-orang selancar pakai helm, mbak! Kalau digulung (ombak) habislah sudah!”

Aku tertawa kencang sekali. Selain membayangkan orang berselancar pakai helm, aku teringat pada tsunami terakhir di Jepang beberapa waktu lalu. Kabarnya santer di seluruh dunia. Negeri Sakura itu siaga. Tahu-tahunya tsunami yang datang setinggi tiga meter. Hanya tiga meter. Itu pun langsung pecah oleh tanggul yang membentengi pulau.

Gwen.

Lauk makan malam sudah hampir siap saat Gwen, Pak Jo, dan si mungil Azel tiba di kapal. Jayson si anak muda kekinian juga diundang Bala untuk makan malam di kapal. Kami makan rendang yang dipanaskan dan sayur buncis yang potongannya tak tentu arah hasil karyaku sejam sebelumnya.

Saat ditilik-tilik, Azel ini lucu sekali. Dia tak pernah menangis meski sedang grumpy. Matanya benar-benar berwarna hazel, cokelat dan bening. Saat kutanya di mana Azel lahir, Gwen menjawab Thailand.

“Tapi made in Indonesia. Hahaha!”

Gwen lanjut bercerita, waktu itu ia dan Pak Jo tinggal bersama suku primitif di barat daya Sumba satu tahun lamanya.

“Mereka itu headhunter. Sangat primitif. Bahkan banyak orang Indonesia tidak tahu keberadaan mereka,” kisahnya.

Kodi, begitu nama suku di barat daya Sumba tersebut. Tujuan pasangan Perancis ini sangat sederhana: menanam beberapa tanaman agar masyarakat setempat tidak kekurangan serat dan sayuran. Sambil memangku Azel yang duduknya miring kesana kemari, Gwen lanjut bercerita.

“Butuh sekitar dua bulan untuk akhirnya diterima oleh komunitas mereka. Kami tinggal di sana selama satu tahun. Sebelumnya mereka sempat mengancam akan memotong leher kami. A little bit scary. Wait, very scary because it’s true.

Lalu, usai dua bulan perjuangan dan satu tahun tinggal di tengah Suku Kodi, apakah tujuan Gwen dan Pak Jo membuahkan hasil?

Gwen mengarahkan jempolnya ke bawah. Tidak sama sekali. Rupanya sangat sulit menerapkan pola bercocok tanam pada suku primitif yang memenggal kepala orang sebagai hobi.

Bulan ke enam tinggal di suku pedalaman Sumba, Gwen mengandung. Situasi dan kondisi sangat tidak mendukung untuk kehamilan Gwen. Saat kandungannya beranjak enam bulan, Pak Jo membawanya pergi ke Phuket.

“Sangat sulit mencari rumah sakit internasional di Asia Tenggara. Kami mendapatkannya di Thailand. Satu di Bangkok, satu lagi di Phuket. Kami pilih Phuket, kebetulan ada teman di sana dan dia punya garden jadi kami bisa bercocok tanam,” papar Gwen, yang bertemu Jonathan pada sebuah party di Paris, 20 tahun lalu, saat calon suaminya itu masih berprofesi sebagai disk jockey.

Jayson.

Kekenyangan, aku melipir ke bagian pinggir kapal. Jayson sedang menenggak bir di sisi kapal yang sama. Dia sedikit banyak mirip Agil, tak banyak bicara. Namun sekalinya diajak mengobrol, keluarlah semua celotehan. Dia juga sering sekali tertawa karena hal-hal yang tidak lucu.

Jika Sukardi meninggalkan keluarganya di Pasuruan selama empat bulan, Jason putus dengan kekasihnya karena tinggal selama lebih dari tiga tahun di Pulau Bawah. Sedikit mengingatkan, menara telekomunikasi baru hadir enam bulan terakhir. Itu berarti tiga tahun tanpa sinyal sama sekali. Jauh dari keluarga, kekasih, juga dunia maya. Selama tiga tahun.

Tiga.

Tahun.

“Enam bulan pertama benar-benar menyiksa. Saya pulang sekali dalam tiga bulan, atau terkadang empat bulan. Tapi begitu pulang, semua orang membicarakan apa yang saya tidak tahu,” kata pria berambut ikal itu.

Kulitnya kini cokelat mengkilap akibat tergerus sinar matahari. Perutnya sedikit membuncit karena jarang makan sayuran. Terkadang para pekerja lainnya berbuat lucu dan hiburan sekecil apa pun bisa jadi sangat menyenangkan. Konser dangdut dadakan kini jadi hiburan favorit Jayson, di mana ia mencontek gaya joget rekan kerjanya yang beragam. Saking jarangnya joget, mereka bisa tahan hingga pukul dua dini hari padahal habis menguras fisik 10 jam lamanya.

Kini dia lebih menghargai waktu. Menghargai keberadaan orang lain. Menghargai sebungkus ciki dan cokelat. Bahkan kini ia menangis jika melihat makanan yang dibuang percuma.

Hingga soft lauching Pulau Bawah pada April 2017 mendatang, Jayson dan kawan-kawan harus bertahan. Pulau yang tengah ‘disulap’ menjadi eco resort berbintang tujuh itu akan menggemparkan dunia pariwisata Tanah Air. Dengan kisaran harga 2.500 dollar AS per malam (dengan minimum stay 4 hari 3 malam), tamu akan dijemput naik seaplane dan mendarat langsung di dermaga Pulau Bawah. Para pekerja yang saat ini berasal dari berbagai wilayah Nusantara akan berganti dengan mayoritas warga Kepulauan Anambas.

Jika sewaktu-waktu Anda mendengar soal Pulau Bawah, kemudian mengagumi keindahannya meski hanya berselancar dunia maya, ingatlah orang-orang ini. Untuk Gwen, Jayson, Sukardi, Zahari, Agil, dan ratusan orang lainnya yang membanting tulang di Pulau Bawah, aku memberi hormat. Betapa sebuah tempat bisa mengubah seseorang.

img_9369

Special thanks

Gwennelle Marchand & Jonathan Semo,

Jayson Mata,

Aji Sularso – Direktur Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat PT Pulau Bawah,

Bala Navaratnam – Direktur Komunikasi Penjualan dan Pemasaran PT Pulau Bawah,

Zahari & Agil, dan

Semua jurnalis yang ikut dalam media trip PT Pulau Bawah.

 

Beberapa tulisan tentang Pulau Bawah akan dimuat di Kompas.com, Rabu (30/11/2016).

Enam Hari Bersama Don Hasman (1)

image1-3.JPG

Saya keluar bukan karena gigitan udara dingin di kaki Gunung Agung, atau sinar matahari yang perlahan menembus tenda oranye berhiaskan embun. Dari luar sana terdengar suara yang familiar. Bersemangat, bahkan sedikit menggelegar. Tiga detik kemudian, baru saja saya menjulurkan kepala, suara itu menyambut dari belakang tenda.

“Sastri!”

Don Hasman menghampiri kemudian membungkuk, menyalami tangan saya kuat-kuat, mengelus kepala seperti kakek yang sudah lama tak bertemu cucunya.

“Gimana, sehat?”

Sang fotografer legendaris idola saya dari kecil benar-benar ada di depan mata. Masih dengan wajah dongo dan kesadaran setengah, saya cuma bisa mengangguk sambil tersenyum lebar.

***************************

Senin, 2 Mei 2016. Saya mengutuk diri sendiri sambil jalan cepat ke toilet umum. Bodohnya kau, Sastri. Harusnya kamu ketemu Don Hasman dalam kondisi rapi. Wangi. Sudah bangun dari jam lima untuk mandi dan dandan sedikit.

Oh ya, kamu juga belum belajar fotografi. Nah lho.

Tepat saat saya mulai menepok jidat sendiri, Oom Don menyusul dengan langkah yang tak kalah sigap. Seorang bapak petugas kebersihan sedang menyapu toilet umum. Tanpa pikir panjang, Oom Don melepas sepatunya. Dia masuk toilet sambil menyapa selamat pagi kepada sang Bapak.

Hanya dalam waktu lima menit, saya melihat dengan mata kepala sendiri sosok sederhana yang jadi panutan para fotografer ternama negeri ini. Seorang kakek 75 tahun yang rendah hati, dengan semangat yang masih berapi-api.

Begitu keluar toilet, Don Hasman menyalami semua orang di base camp Pura Agung. Semua orang spontan terkena percikan energi positif Oom Don.

“Bersemangat sekali dia ya, mbak. Siapanya mbak?” tanya warga lokal yang kebetulan mangkal di base camp pagi itu.

Dengan percaya diri saya menjawab, “Kakek saya.”

Saya berfirasat, mungkin Oom Don tidak mau memperkenalkan diri sebagai Don Hasman. Dia membawa nama besar – yang bagi orang sepertinya, ada kalanya lebih baik tersembunyi saja.

***************************

Ini adalah hari ke-7 ekspedisi ‘Jelajah Tanpa Batas’ yang diselenggarakan Kompas.com, bekerjasama dengan Nissan, Pertamina, dan Eiger. Dua mobil Nissan – All New Navara dan All New X-Trail – mengantar Willem Sigar Tasiam mendaki 50 gunung dalam 40 hari.

Bagi yang dalam hati bertanya siapa gerangan Willem Sigar Tasiam, dan berani-beraninya dia berniat mendaki gunung dengan jumlah lebih banyak dibanding harinya: Willem adalah atlet maraton gunung solo yang pernah memecahkan rekor mendaki 40 gunung dalam 32 hari. Ekspedisi kali ini dimulai di Gunung Kelimutu (Nusa Tenggara Timur) dan berakhir di Gunung Sibayak (Sumatera Barat).

Sebagai sahabat Oom Willem, Oom Don punya andil cukup besar dalam ekspedisi ini. Tanpa Oom Don, mungkin tak akan ada dua Nissan keren warna oranye metalik yang selalu jadi pusat perhatian. Apalagi kalau lewat kampung.

Satu minggu sebelum ekspedisi, saya membuat biografi Oom Willem dan Oom Don sebagai teaser ekspedisi kali ini. Itulah mengapa suara Oom Don terdengar begitu familiar.

“Sastri, nanti kau bantu ya, bareng-bareng kita buat buku ekspedisi ini untuk Willem. Saya percaya kamu punya kemampuan. Semua orang pasti punya.”

Waktu perbincangan telfon itu, saya hampir menangis terharu. Bukan apa-apa, dua hari sebelumnya saya bertemu segerombol wartawan lifestyle yang mengaku sudah kawakan. Mayoritas dari mereka mengerenyitkan jidat, atau menghela nafas panjang begitu tahu kalau belum genap satu bulan saya bekerja di Kompas.com. Masih hijau, begitu kira-kira.

***************************

Begitu Oom Willem turun dari Gunung Agung, mobil langsung melaju ke kaki Gunung Batur di Kintamani. Oom Don naik Navara bersama Oom Willem. Hampir tiap kali berhenti, Oom Don menghampiri X-Trail untuk sekadar membukakan pintu.

Memangnya saya siapa, dibukakan pintu segala oleh Don Hasman?

Sambil menunggu Om Willem mendaki Gunung Batur, Oom Don membelikan saya sekantung besar tomat dari penduduk lokal. Untuk asupan vitamin C, katanya. Kebetulan saya baru mulai sariawan.

Malam itu kami cukup beruntung, tidur di penginapan cukup nyaman di wilayah Tabanan. Saat makan malam, Rusdi, salah satu anggota tim ekspedisi iseng bertanya kepada Oom Don.

“Oom, masih segar usia segitu rahasianya apa?”

Fotografer kawakan itu tampak bingung sendiri. Apa ya? katanya, malah balik bertanya.

“Istirahat cukup, makan cukup, banyak gerak… Kalau ada pikiran, bantu orang,” dia menjawab sambil lalu.

Saya tidur dengan pikiran mengawang-ngawang soal jawaban itu. Teori yang sangat sederhana. Terlebih karena ‘bantu’ versi Oom Don tidak melulu berkaitan dengan uang.

Di hari pertama, membantu orang lain versi Don Hasman berderet macamnya. Mulai dari ucapan selamat pagi, membereskan piring usai makan siang, sampai membeli hasil bumi langsung dari warga lokal.

Kembali Traveling

image2

Sudah lebih dari empat tahun saya bekerja sebagai travel journalist, yang diamini banyak orang sebagai profesi paling menyenangkan sedunia. Selama itu saya wara-wiri ke berbagai pelosok Nusantara. Memecah satu destinasi menjadi sejumlah artikel hingga angle yang paling liar. Selama itu pula orang mendelik iri, betapa nikmatnya jalan-jalan gratis dengan timbal balik ‘hanya’ sederet artikel di media online paling ternama se-Tanah Air.

Selama itu pula, bisa dihitung jari saya benar-benar traveling.

Saya berkecimpung dalam dunia perjalanan bukan karena tren. Suka? Sudah pasti. Adiktif? Iya. Bangga? Tidak. Untuk diumbar-umbar? Tidak. Justru saya rasa, traveling jadi kebutuhan utama karena kemampuannya melepas identitas. Bertamu ke satu tempat antah-berantah, bercengkerama dengan orang baru meski sama sekali asing. Tidak peduli siapa saya, berapa umur saya, siapa saja teman saya, sudah pernah ke mana saja…

Yogyakarta, 31 Desember 2015. Motor melaju ke Hutan Pinus Mangunan, Yogyakarta, yang fotonya bertebaran di Instagram. Berhubung bukan dalam rangka liputan, saya mengaku habis ide soal destinasi. Scrolling timeline Instagram berjam-jam hanya berbuah helaan nafas panjang karena saya tahu persis, di spot-spot tertentu pasti ada segerombol fotografer berkutat sambil mengulik gadget di tangan masing-masing. Hal yang wajar dan sama sekali tidak salah — namun bukan yang saya cari.

Hutan Pinus Mangunan saya lewati begitu saja. Motor melaju ke tempat yang akhirnya saya ketahui sebagai Puncak Becici, masih di dalam area hutan pinus. Bergabung dengan kawan-kawan lainnya yang asyik foto dan selfie, kemudian beranjak pergi. Lagi-lagi, bukan itu yang saya cari.

Motor terus melaju, kini tanpa tujuan. Namun semakin tanpa tujuan, semakin saya senang. Di tengah jalan saya berhenti, memotret dua sapi yang asyik mengunyah rumput. Sebuah jalan kecil mengantar saya masuk ke desa — yang hingga kini saya tidak tahu namanya — kemudian bergabung dengan anak-anak kecil yang sibuk melatih burung dara peliharaan mereka. Saya duduk di tepi sawah, memejamkan mata barang sebentar, suara anak-anak itu semakin memudar.

Hari semakin senja. Angin seakan mendayu-dayu, mengajak dansa pepohonan pinus. Burung-burung dara terbang cepat membelah udara, berlatar langit biru penuh titik-titik gumpalan kapas.

Ayo! Hampir maghrib!

Seruan Bagas membuyarkan lamunan. Kami berkenalan barang 10 menit sebelumnya, Bagas punya wajah paling jenaka di antara yang lainnya. Dia lantas menyambar sangkar –burung dara abu kebiruan bertengger di dalamnya — kemudian bersepeda membelah pesawahan.

Saya termenung sepanjang perjalanan kembali ke Kota Yogya. Sudah lama sekali perasaan itu hilang. Perasaan sumringah karena mendatangi tempat baru, bertemu orang baru, menghilang dari semua cap baik dan buruk yang melekat di jidat. Perasaan tersesat yang sangat menyenangkan.

31 Desember 2015, saya kembali traveling. Tidak jauh, tidak tahu nama tempatnya, tidak ada jejak apapun kecuali dalam ingatan.

image1

Salah Bapak

Rasa canduku terhadap perjalanan tidak bisa dibendung. Bapak adalah sosok inti yang harus disalahkan soal ini, dia membawaku kemping selagi aku belum mampu buang air kecil sendiri. Bukit Lawang, kata Bapak mengingatkan saat sahur tadi. Esok harinya beliau terheran-heran anak perempuannya tidak di tenda dan sudah basah kuyup main air di pinggir kali.

*****

Tepat di usia ke-7 saat aku, dengan pipi masih gembil dan rambut ikal seperti indomie, mengenakan overall jeans dan kaus putih bergambar Bugs Bunny, dengan santainya mengeluarkan kepala dari jendela mobil. Mulut kubuka lebar-lebar. Anginnya bisa dimakan Pak! Anginnya bisa dimakan Pak! Beliau sampai misuh-misuh menyuruhku memasukkan kepala (dan berhenti mangap), tapi apa daya…

Sastri, banyak truk!

Jalur lintas Sumatera – dalam perjalanan 3 hari pindah rumah dari Rantau Kuala Simpang (Aceh Timur) ke Bandung. Para supir truk paling geleng-geleng saat melihat sosok keriting-keriting nongol dari Fiat Uno merah. Beruntung dulu aku tidak kenal istilah masuk angin. Belum tahu malu juga.

*****

2011. Masih dengan kadar malu yang minim, kubentangkan peta lebar-lebar di pinggiran jalan Central Business District, Perth, Western Australia. Kutandai tempat-tempat yang akan dikunjungi, sembari pada akhirnya, tetap salah baca peta. Tapi sesuai janji, pukul dua siang aku sudah nyengir lebar di depan tempat dinas Bapak. Kubeberkan perjalanan jalan kaki pagi tadi ke Kings Park. Tentunya dengan nada menghasut.

Dua jam kemudian Bapak kembali misuh-misuh karena kuajak trekking naik bukit. Padahal ke Kings Park bisa naik bus Transperth, sekali kedip.

*****

Maret 2015 di Sarangkot, Nepal. Mataku berbinar melihat Fishtail, salah satu gunung di barisan Annapurna, bertabur matahari pagi. Puncaknya yang lancip dan beratap salju mengingatkanku pada Tintin in Tibet, salah satu petualangan favoritku dari si reporter berjambul. Itulah salah satu alasan Nepal, selain juga Tibet, sudah ada dalam angan-angan sejak aku masih duduk manis di bangku SD.

Bapak adalah penyebab Tintin, selain juga Asterix dan buku-buku dongeng Hans Christian Andersen, jadi santapanku setiap malam. Tapi soal mendongeng, Bapak sering bandel. Aku mau Three Little Pigs, dia keukeuh Jack and the Bean Stalk. Aku mau Secret of the Unicorn, dia baca Explorers on the Moon. Gara-gara Bapak aku dulu bercita-cita ke Borduria, negara fiktif dalam King Ottokar’s Sceptre-nya Tintin. Pokoknya Sastri mau ke Borduria! 

Bapak mengangguk sambil ngantuk-ngantuk. Iya besok ya, sekarang bobo dulu.

*****

Adalah Bapak, yang mungkin tanpa sadar memupuk rasa canduku terhadap perjalanan. Oleh karena Bapak aku sempat hampir dijambret di Bangkok, hampir dibawa kabur supir Jeepney di Filipina, naik gunung berkali-kali sampai puas meski hampir nyasar di Argopuro. Kabur dua minggu susur Sumatera. Mengagumi indahnya sunrise Kelimutu sampai hampir berlinang air mata. Dan ribuan cerita lain soal perjalanan yang nantinya yang insyaAllah, akan kuceritakan kepada anak cucu kelak. 

Terima kasih Pak. Pokoknya ini semua salah Bapak. I love you! 

Sepotong Kue

Transjakarta yang setengah jam tak kunjung datang membuatku geram. Sudah pukul 22.20 WIB saat semua penumpang tujuan Ragunan dari halte Dukuh Atas mulai berdecak resah. Kakiku mulai lemas. Tekanan darah menurun, pandangan berkunang-kunang.

Bagiku hari itu sungguh berat. Mental diuji dari pagi, fisik diforsir bertubi-tubi. Tapi semua orang punya masalah masing-masing bukan? Dan dari nada kesal tiap kali Transjakarta lewat tanpa menaikkan penumpang, agaknya kami sepakat satu hal: Jakarta memang kejam.

Goyah, kulangkahkan kaki ke luar halte dan menghampiri sederet taksi Blue Bird di ujung jalan. Supir taksi yang akan kunaiki rupanya sedang tidur nyenyak. Supir lain membangunkannya.

Rasa letih agaknya tak bisa kusembunyikan lama-lama. Dengan ketus kuminta supir bertolak ke Jalan Warung Buncit. Lewat Kuningan, kataku menambahkan.

Sepanjang jalan pandanganku menerawang, sebelum akhirnya kusadar sedang memegang sebuah kotak. Isinya kue eclairs, diberikan oleh PR hotel ternama Jakarta pada meeting sebelumnya. Saat kubuka, eclairs yang jumlahnya selusin itu berantakan. Kutata satu per satu, kembali pada tempatnya. Kemudian tanpa sadar, menawari satu potong kepada Pak Supir.

Dia tersenyum malu sambil balik bertanya, “Boleh saya ambil ini mbak?”

Tentu Pak, tentu boleh. Nadaku spontan melunak. Dia melahapnya tanpa suara.

Mbak?

Ya, Pak?

Ini kue paling enak yang pernah saya makan. Terima kasih ya mbak.

Mataku kembali tertuju pada kotak yang isinya sudah berantakan. Kutawari sepotong lagi, dia menolak.

Terima kasih mbak, cukup satu saja, alhamdulillah.”

Hi, Sastri


“Hi Sastri.”


Notifikasi itu muncul sesaat usai meng-install aplikasi Viber. Brish Lamichhane, begitu nama si penulis pesan. Aku terkesiap. Buru-buru kuketik jawaban, panjang lebar. Menanyakan kabar, di mana dia sekarang, bagaimana kondisi di Nepal.

silver2

21 Maret 2015. Pandanganku menyisir bangunan tinggi langsing bertuliskan ‘Silver Home’. Kugendong carrier masuk ke lobby hotel yang kami bertiga pesan beberapa minggu sebelumnya. Seorang Nepal berwajah manis, berhidung mancung, mengenakan jas rapi menyambut di balik meja resepsionis.

“Oh, yes, I believe I had an email conversations with someone named Sastri.”

Pandangannya tertuju pada Christie, Hardi, kemudian terhenti padaku.

“And you must be Brish,” kataku, membalas senyumnya tanpa bisa menyembunyikan wajah letih. Usai perjalanan cukup panjang dari Jakarta, Kuala Lumpur hingga akhirnya Kathmandu, tak ada yang lebih kudambakan selain mandi air panas.

silver4


“How are you, Brish?”

“I lost my house.”


Beberapa hari setelahnya berjalan sangat lancar. Kami mulai menganggap sosok-sosok ini sebagai keluarga sendiri: Brish, sang manajer yang selalu menyapa meski ada tamu di resepsionis. Yogi, sosok sederhana yang tiap pagi menyiapkan sarapan yang ternyata adalah pemilik Silver Home. Ranjan, staf hotel berwajah sedikit-banyak mirip Joseph Gordon-Levitt yang sempat kabur untuk menemani kami jalan-jalan di museum.

Oh ya, Punamh, sang driver dengan rambut mirip Charlie ST12. Kami sempat kelabakan di bandara karena tidak melihat sosok dengan nama ‘Sastri’ terpampang di kertas. Beruntung seorang polisi akhirnya teriak, “SILVER HOME!” kemudian sosok pria lari tunggang-langgang dari kejauhan sambil membuka kertas yang sudah dilipatnya sampai kecil sekali: ‘Sastri’.

Esok harinya, Punamh juga yang mengantar kami ke kota kuno Bhaktapur dan Nagarkot yang terletak di puncak bukit. Sepanjang jalan kami tak perlu mengenakan headset karena Punamh, dengan kacamata hitam yang selalu dipakainya meski hari sudah senja, berkata, “This is the true Nepalese song.”

Alunan lagu itu sangat bersahabat di telinga. Sejenis Banda Neira. Payung Teduh. The Trees and The Wild. Kami serasa berada di film tentang perjalanan.

Punamh


“Oh my God… So where are you staying now?”

“Under the plastic.”


Malam-malam di Pokhara, 220 Km dari Kathmandu. Aku dan Hardi masuk ke Wartel untuk menelfon Silver Home. Agaknya kami punya ikatan yang terlampau kuat dengan hotel itu. Tak mau pindah ke tempat lain untuk sisa dua hari di Kathmandu.

“Brish! Brish! Hi, it’s Sastri. We would like to know whether the same room we booked earlier still available for the next two days?”

“Sastri! Yes I think it is. But you can call the hotel to make sure. I won’t be there by tomorrow. It’s my engagement day.”

“Really? Oh I’m so happy to hear that! Congratulations!”


“My marriage went very well, but four days earthquake make us out of our house. I feel really sorry for my wife.”


Gempa bumi melanda Nepal hanya beberapa hari usai kami pulang ke Tanah Air. Kami tahu persis kondisi Kathmandu Valley, mayoritas penduduk tinggal di bangunan yang hampir semuanya rapuh. Ibukota luluh lantak. Ribuan orang meninggal. Kawasan bersejarah Kathmandu Durbar Square hampir seluruhnya rata dengan tanah.

“And Silver Home? Ranjan? Punamh? Yogi?” tanyaku, sedikit berharap.

“Hotel is good. Everybody is safe. But the hotel next to us collapsed.”

Silver Home


“I’m sorry I can’t do anything to help. Sorry for your wife, and your house.”

“It’s okay. Take care Sastri. Once it heals, you can always come back.”


Malu yang Candu

Kok kamu kerjaannya jalan-jalan terus?” adalah lontaran pertanyaan yang mungkin paling sering kubiarkan menggantung di udara. Pertanyaan itu kunilai positif merupakan basa-basi yang dilontarkan orang yang sebenarnya tidak terlalu peduli.
 
Namun kemarin, pertanyaan ke-seribu sekian ratus muncul dari seorang teman dekat yang kuanggap saudara sendiri. Dia bertanya justru karena peduli. Bagaimana caraku menabung, rencanaku di masa depan, keberlangsungan karirku beberapa tahun ke depan. Juga soal hubungan dengan orang tua, apalagi pacar yang selalu ditinggal.
 
Aku mulai menanggapi pertanyaan ini secara serius. Jawabannya, sangat awam namun paling mendekati, kira-kira seperti ini:
 
Perjalanan membuatku malu.
 
Perjalanan menyadarkan bahwa aku tidak ada apa-apanya di muka bumi. Kecil, kecil sekali. Perjalanan membuatku menyayangi sesama manusia, karena seluruh bumi ini diisi orang baik. Perjalanan adalah cara belajar adaptasi yang paling sempurna sekaligus paling ekstrem. Perjalanan memaksaku menerima semua jenis kemungkinan, semua jenis pemikiran, tak masalah apakah aku setuju atau tidak.
 
Perjalanan membuatku malu. Malu karena aku tidak setulus pemilik hostel tempatku menginap di Filipina, yang menunggu kedatanganku sampai pagi kemudian membuatkan teh panas dan menganggapku anak sendiri. Atau supir hostel di Nepal yang rela menunggu berjam-jam sampai mengantuk hanya karena aku mau melihat sunset dari atas bukit, itu pun akhirnya terhalang awan.
 
Malu karena aku tidak segigih anak-anak Wamena yang harus turun-naik bukit untuk bisa sekolah. Malu karena aku tak sesabar petugas loket karcis di Sukhothai karena bisa dengan tenang meladeni turis yang marah-marah. Malu karena aku tidak sebaik orang India, yang dengan sopan melarangku makan di restorannya karena ada menu yang tidak halal.
 
Rasa malu seperti itu yang lama-lama menjadi candu. Mungkin itu pula yang dirasakan orang-orang dengan segudang pengalaman dan kisah penjelajahan, namun ibarat padi, kian berisi maka kian merunduk.

PULANG

Processed with VSCOcam with c1 preset

 

“They say, find a purpose in your life and live it. But, sometimes, it is only after you have lived that you recognize your life had a purpose, and likely one you never had in mind.” – Khaled Hosseini (And the Mountain Echoed).

 

“WAKE UP! WAKE UP!”

Syal tipis yang menutupi tubuhku dibuka paksa. Pria, setelan hitam. Logo maskapai berbentuk bulatan merah terpampang di dada kirinya.

We’re moving to Q10.

Nadanya melunak. Agaknya baru sadar, yang dibangunkannya seorang wanita.

**************

Aku mengerjap, sontak terduduk. Dua temanku tidak di tempat. Kusambar carrier, backpack kupakai asal-asalan di bagian depan. Carrier milik Isty di tangan kiri, carrier Hardi di tangan kanan.

02.00 dini hari, boarding gate Q19, Kuala Lumpur International Airport (KLIA) 2. Aku berdesakan di tengah kerumunan orang Nepal yang kebelet pulang ke rumah. Sudah tiga hari mereka mendekam karena insiden ‘nosediving’ Turkish Airlines di Bandara Kathmandu. Bandara internasional satu-satunya, dengan hanya satu landasan itu terpaksa ditutup.

**************

Nepal dan Tibet sudah jadi negara impianku sejak kecil. Sudah terpaku dalam otak sejak Tintin kehilangan sahabat Tionghoa-nya, Chang, kemudian bertemu Yeti. Gambaran puncak-puncak Himalaya, hilir mudik manusia berwajah etnis Sherpa, warna-warni bendera doa lantas menjadi objek menghayal setiap hari.

Boarding gate Q10. Aku sudah terbiasa berebut tempat duduk dengan ratusan orang asing. Usai menginap 3 malam semua orang di sini agaknya mengerti konsep ideal ‘tempat duduk’: yang paling jauh dengan lubang AC, paling dekat dengan pintu boarding, dekat colokan pastinya sangat membantu.

“Malaysia?” tanya seorang Nepal.

“Indonesia,” jawabku lemah.

Raju, begitu namanya yang kutahu esok harinya, bertanya hilir-mudik tentang rencanaku di Nepal. Ke kota mana saja, mau lihat apa, menginap di mana, yakin mau paragliding di Pokhara?

Dia bercerita tentang Baglung, kota tempatnya berasal, yang dipagari perbukitan hijau dan puncak es Gunung Dhaulagiri. Saat kutanya, apa rasanya tinggal di kota mungil indah seperti itu?

Like… home?,” dia mengangkat bahu.

**************

04.00, boarding gate Q21. Raju melambaikan tangan dari jendela kaca gate sebelah sambil menunjuk boarding pass-nya yang baru dibagikan (kami berganti boarding pass tiap pagi). Penerbangannya tepat pukul 07.35. Hari itu juga. Hari pertama Bandara Kathmandu dibuka untuk penerbangan internasional.

Aku menunduk pada selembar boarding pass. Penerbanganku 3 hari lagi.

**************

07.00 keesokan harinya. Mimpi itu seperti sudah di pelupuk mata. Kulihat boarding pass baruku, kini bertuliskan Kuala Lumpur-Jakarta. Kuhela nafas panjang.

Pulang. Aku pulang. Raju pulang. Ratusan orang Nepal lainnya pulang. Mimpi itu menggantung begitu saja di langit-langit bandara.

Tapi jika mimpi masih sulit digapai, belum saatnya kita mencari mimpi yang baru bukan?