Kenapa Selalu Menyindir?

Asalnya hal ini mau saya simpan saja di kepala. Tapi semakin lama, kok sindiran itu semakin ganas. Tulisan pendek ini bukan ditujukan untuk satu orang. Tak digubris pun tak apa. Namanya juga blog, menampung apa yang pop up di kepala.

*****************

Traveling sudah jadi virus yang menyebar cepat. Tahun lalu 1 miliar traveler pergi lintas negara. Perbandingannya 1:7 dengan jumlah manusia di muka bumi. Bukan jumlah yang sedikit, bukan hal yang sepele.

Ketika kita di sini bicara tentang beragam cara traveling, aneka jenis traveler: apa itu backpacker-flashpacker-blablapacker, institusi-institusi besar di luar sana tertawa puas. Pariwisata jadi pemasok utama devisa negara. Di Indonesia, jadi penghasil devisa terbesar ke-4.

Tak sedikit negara yang berbalik arah, menempatkan pariwisata jadi sumber pendapatan utama. Negara-negara kecil di Pasifik seperti Tuvalu, Kiribati, Samoa, Micronesia… Yang tak punya apa-apa selain pulau mungil berpasir putih di tengah samudera biru yang luas.

Sementara itu, dalam ruang lingkup yang lebih kecil, traveler (dan komunitasnya) sibuk bicara tentang cara travel writing yang benar. Etika memotret yang benar. Bagaimana traveling yang ramah lingkungan. Mereka yang kontra (atau hanya iri dan kurang kerjaan, mungkin) selalu menyalahkan banyak hal. Menurut saya traveling itu begini, traveling itu begitu. Nggak boleh begini, nggak boleh begitu.

Mereka terus menyindir sampai lupa waktu. Agaknya mereka lupa, pariwisata adalah hal besar.

Si komunis Korea Utara sampai iri dengan tetangganya. Kim Jong-Un sampai ngidam bikin resor ski, baru-baru ini bahkan resor pantai. Pyongyang mulai membuka diri, berdalih menawarkan pengalaman baru untuk turis. Traveling di kota yang monoton, serba abu-abu.

Jujur. Saya sebagai jurnalis travel yang berada di tengah banyak pihak, merasa jenuh. Nyatanya semakin marak dunia traveling, semakin banyak teorinya. Semakin banyak pakem dan peraturan. Semakin banyak gengsi dan jemawa. Mereka yang selalu menyindir traveler lain mungkin merasakan hal itu. Tapi apa salahnya mengingat kembali hakikat traveling: sesuai hati nurani masing-masing?

Traveling adalah urusan pribadi, dan saya mengamini itu. Siapa lagi yang merasakan susah-senang traveling kalau bukan diri sendiri? Siapa yang menabung sebelum pergi, siapa yang menentukan destinasi, transportasi, akomodasi kalau bukan diri sendiri? Siapa yang dapat pelajaran traveling? Diri sendiri!

Untuk apa terlalu sibuk dengan urusan orang lain, apalagi masalah traveling yang jelas-jelas hal besar. Berbagi informasi, kenapa tidak. Tapi kalau terus-terusan menyindir?

37 comments

  1. Setuju ama pernyataan mba Sastri di post ini..mau ada yang bayarin ato bayar sendiri juga harusnya bukan masalah buat orang lain 🙂

  2. Second to this. Ada masanya emang orang-orang patut diberi peringatan “mind your own business” dan “get a life”.

  3. Cuma terkadang perlu penyesuaian juga dengan kondisi destinasi yang kita kunjungi, seperti contohnya menghormati budaya atau lingkungan setempat. 😀

      1. emangnya aku layangan putus, mbak…? -_-” hihihii…
        udah bosen juga sama yg nyindir2 gini.. Kalo berani, ajak aja ke lapangan sekalian!
        *main bola, maksudnya.. 😛

      2. Iyah bener *siapin bola beklen* XD
        Banyak yang ribet ya mbak pemikirannya heheu.. Padahal traveling jelas asik, seru, gak ada ruginya. Dampak pasti ada terutama soal traveling massal, tapi kalo bener2 concern, mungkin saatnya mereka bergerak bukan cuma di bibir saja *tsaaah* *angin berhembus* XD

  4. “Nyatanya semakin marak dunia traveling, semakin banyak teorinya. Semakin banyak pakem dan peraturan. Semakin banyak gengsi dan jemawa. Mereka yang selalu menyindir traveler lain mungkin merasakan hal itu. Tapi apa salahnya mengingat kembali hakikat traveling: sesuai hati nurani masing-masing?”

    Setuju banget sama kalimat ini. Salam kenal mbak 🙂

Leave a reply to anindiati Cancel reply