Saat Membuka Diri, Mereka Percaya Pada Kita.

Mentari sedang riang. Sengatannya terasa sampai ke tulang, terpantul di permukaan air danau yang tenang. Tapi perbukitan hijau yang berderet rapi itu menjulang tinggi, seakan menantang matahari. Saya tak ragu lagi tentang pendapat banyak orang, “Matahari di Papua itu ada sembilan.”

Kapal motor yang saya naiki mulai merapat ke dermaga. Sayup-sayup, terdengar nyanyian khas tari Felabhe (sebuah tari perang, sekarang menjadi tari selamat datang). Lalu tampaklah, para pria menari di atas dermaga. Mereka mengenakan Khombou, pakaian adat Papua dengan baju dari kulit kayu dan rok berbahan jerami.

Semakin kapal mendekat, semakin sumringah mereka menari. Senyum mengembang di tiap wajah, termasuk anak kecil yang belepotan cat putih di wajahnya. Para wanita bergoyang ayu di belakangnya, dengan pakaian dan aksesori yang sama.

Selamat datang di Yobeh, satu dari 24 desa adat yang menempati pulau mungil di Danau Sentani. Sebelum menyambangi Yobeh, ada 3 desa lain yang jadi tujuan Sentani Lake Tour hari itu. Tapi, Yobeh berbeda dari desa apa pun di Kabupaten Jayapura. Sang pemandu bernama Andre tak mau menjelaskan panjang lebar tentang desa ini. Andre menyimpan rahasia, yang baru kami ketahui hari itu juga.

*****************

Image

Ada sedikit kekhawatiran saat menginjakkan kaki di dermaga yang tampak rapuh. Namun masyarakat Danau Sentani punya rahasia terkait ini. Mereka menyebutnya: kayu besi. Kayu jenis ini digunakan oleh seluruh desa adat sebagai pondasi bangunan di pinggiran pulau. Disebut kayu besi karena sifatnya yang sangat kuat. Semakin terkena air, kayu ini semakin mengeras.

Gereja peninggalan kolonial Belanda berdiri megah di dekat dermaga. Di halamannya, terdapat sebuah ceruk berisi batu yang terbelah dua. Namanya Batu Begal. Dulu, batu ini jadi tempat pemimpin perang meniup Triton (alat musik khas Papua yang terbuat dari cangkang kerang). Tiupan itu adalah pertanda bagi para pria untuk bersiap terjun ke medan perang.

Betapa mereka akrab dengan perang. Para pria menjunjung tinggi konsepsi perang, membuat alat-alat terkait perang, menyesuaikan beragam hal untuk keperluan perang. Trauma terhadap perang antar suku maupun Perang Dunia II masih terpatri di benak mereka. Hal itu terbawa hingga sekarang, ketika perahu milik pria berukuran lebih kecil karena memudahkan untuk perang.

Setelah melihat batu sakral lain yaitu Ondi Fnarkoi (batu tempat dinobatkannya Kepala Suku), seluruh rombongan sedang mengerubungi Kepala Suku. Ia tengah menjelaskan sesuatu tentang peninggalan ratusan tahun.

“Iya, Tifa ini dari kulit manusia. Umurnya dua ratus tahun. Dulu ada dua, yang laki sama yang perempuan. Yang perempuan dibawa ke Belanda, dimuseumkan di sana katanya. Di situ, tinggal Tifa laki-laki.”

Tangannya kemudian menunjuk ke sebuah rumah di tepian pulau. Tampak seperti rumah panggung biasa khas masyarakat setempat. Saya penasaran, Tifa seperti apa yang disembunyikan di rumah itu?

Tifa adalah alat musik khas Papua yang berbentuk gendang. Biasanya digunakan dalam ritual adat, atau upacara menyambut tamu. Tari Felabhe dan Onomi Foimoy (selamat datang) juga menggunakan alat musik itu. Bentuknya menjadi motif di lukisan kulit kayu khas Danau Sentani.

“Ucap salam dulu,” kata Kepala Suku.

Setelah berucap permisi, mata kami tertuju ke dua Tifa yang menggantung di langit-langit. Warnanya hitam, mungkin karena termakan usia. Sejepret-dua jepret kamera dan saya pun keluar. Di pintu rumah, Kepala Suku angkat bicara.

“Tifa ini jadi pertanda kalau ada yang mau meninggal. Yang rambutnya sudah putih, sudah ada bercak-bercak di wajahnya. Malam hari, Tifa bunyi sendiri. Besoknya, dia meninggal.”

Astaga, ini adalah hal paling mistis yang saya temui sepanjang Festival Danau Sentani 2012. Tapi rupanya, Kepala Suku belum selesai cerita.

“Kalau Tifa ini bunyi, yang di Belanda juga bunyi. Bersamaan.”

Image

Saya melipir untuk sibuk mencatat. Namun, dua warga yang berdiri tak jauh dari saya berhasil mengalihkan perhatian. Masing-masing membawa tombak panjang. Mereka memegangnya dengan hati-hati, mengelusnya dengan cermat. Saya langsung sadar, itu tombak keramat.

“Tombak ini dulu dipakai untuk perang. Tinggal dua juga, ini yang laki-laki, itu yang perempuan. Nggak boleh dipegang sembarang orang, harus yang dituakan,” tutur salah satu pemegang tombak.

Kedua tombak keramat itu dibuat dari kayu besi. Tombak laki-laki punya tinggi 3 meter, sementara yang perempuan 3,5 meter. Menarik, tombak perempuan lebih panjang dan berat dari tombak laki-laki. Benar kata Andre, sang pemandu, yang bilang kalau wanita Papua gagah berani.

Kedua tombak itu usianya tak tanggung-tanggung. Lima belas keturunan, kata Kepala Suku. Sekarang digunakan untuk acara pelantikan.

Tak sampai satu jam kami singgah di desa ini. Warga setempat termasuk Kepala Suku mengantar kepergian kami, masih dengan senyum mengembang, memamerkan gigi kuat berkat sirih. Tari Felabhe kembali digelar. Mereka mengantar kami ke dermaga, melambaikan tangan lama sekali hingga kapal tak terlihat.

*****************

Andre termenung di dalam kapal. Ia singgah hanya sebentar. Pandangannya resah. Namun, keresahan itu tak bisa lama-lama dibendung. Kepada beberapa orang di sekitarnya, termasuk saya, Andre angkat bicara.

“Saya dekat sekali dengan Kepala Suku. Nginap di rumahnya beberapa hari. Saya kenal bertahun-tahun! Selama itu saya nggak tau sama sekali tentang batu, tombak, apalagi Tifa,” katanya.

Kepalanya mulai menunduk, suaranya memelan.

“Mereka sembunyikan itu rapat-rapat. Ini pertama kalinya mereka sambut wisatawan. Saya diminta mendatangkan kalian.”

Hari itu, Kamis (22/6/2012), akan dicatat sebagai sejarah oleh Desa Yobeh. Selama ratusan tahun mereka menutup diri dari dunia luar, tak mau disentuh pariwisata. Hari itu, saya dan beberapa wartawan lain menjadi tamu pertama mereka. Pertanyaannya adalah, kenapa?

Andre menjelaskan, masyarakat Desa Yobeh sudah mulai paham dampak positif pariwisata. Terutama untuk aspek ekonomi dan kesejahteraan. Dari 24 desa adat di Danau Sentani, tak lebih dari 5 desa yang membuka pintu pariwisata.

“Banyak sekali desa di sini (Danau Sentani) yang minta didatangi wisatawan. Tapi nggak semuanya mungkin, soalnya jarak pulaunya ada yang jauh sekali dekat hilir,” begitu kata Andre.

*****************

Image

Kepala Andre kembali mendongak. Tatapannya kembali tajam. Ia berlalu untuk melanjutkan tugasnya sebagai pemandu tur hari itu.

Bulu kuduk saya berdiri. Baru saja saya menginjakkan kaki di sebuah desa tak terjamah. Desa yang penduduknya mengemban sebuah harapan akan kesejahteraan dan kelestarian budaya. Mereka mengungkapkan apa yang telah disimpan rapat-rapat. Belasan, puluhan, ratusan tahun lamanya. Dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Keinginan sebesar apa yang membuat mereka rela membuka cadar? Mengingat senyum tulus di wajah mereka, rasanya tak mungkin kalau untuk perekonomian saja. Mereka harusnya melakukan itu sejak jauh-jauh hari, meminta sajen ini-itu, memungut biaya untuk memotret Tifa atau tombak keramat.

Mereka mengemban duka yang dalam saat harus mengungkap rahasia. Maka dari itu saya rasa, harapan itu merujuk pada kelestarian budaya. Bahwa di sebuah desa mungil di ujung timur Indonesia, punya sebuah peninggalan yang kaya sejarah dan budaya.

Saat membuka cadar, mereka percaya pada kita. Mereka percaya kalau wisatawan akan ikut melestarikan harta karun yang mereka punya.

Setelah ini dan seterusnya, untuk jangka waktu yang tak terbatas, semoga wisatawan menggunakan kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya.

note: Tulisan ini pernah dipublish di detikTravel, dibagi jadi dua artikel. Dan, avatar di akun Twitter yang sekaligus jadi profile picture di Facebook saya, adalah anak kecil dari desa ini. 🙂

Image

8 comments

  1. Nice article!
    Yang sulit itu to keep the balance between the culture and tourism.
    Kadang daya tarik suatu daerah itu budayanya, tapi saat sudah terlalu dikomersialisasi hilang sudah orisinalitasnya.
    Semoga tourism di Indonesia bisa dikelola dengan bijak oleh orang2 yang punya hati, bukan cuma mementingkan materi.
    Dan tentu saja dibutuhkan kesadaran juga dari para wisatawan itu sendiri.

    1. Iya mbak Susan, bener banget. Saya sebagai penulis (dan jurnalis) perjalanan pengen banget menekankan ke tiap wisatawan, kalau berwisata bukan cuma untuk kebahagiaan mereka sendiri, tapi juga memberi harapan pada daerah ybs. Mulai dari hal paling keciiiiil saja.. Beli makanan di warung lokal. Itu sudah sangat baik menurutku 🙂

      Makasih komentarnya mbak Susaaan 😀

  2. Tulisan yang bagus mbak. Membuat saya jadi lebih berfikir, bahwa ternyata wisatawan itu punya tanggung jawab yang besar. Tidak hanya datang, bersenang-senang, lalu pulang. Tapi wisatawan juga punya tanggung jawab untuk ikut melestarikan apa yang dilihat. Entah itu budaya, dan atau apapun juga.

    Salam kenal

Leave a reply to anindiati Cancel reply